1. Pengertian Ikhlas
Secara bahasa, ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan
menjadikan sesuatu bersih tidak kotor. Maka orang yang ikhlas adalah orang yang
menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah saja dengan menyembah-Nya dan tidak
menyekutukan-Nya dengan yang lain dan tidak riya dalam beramal. Sedangkan
secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal
tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niat dari kotoran yang
merusak.
Ikhlas merupakan
sifat terpuji dalam hati yang akan menghiasi perilaku seorang Muslim. Segalanya
karena Allah dan untuk-Nya semata. Ikhlas adalah perhiasan hati yang akan
menyelamatkan seseorang dari kerugian akhirat, tanpa ikhlas amal perbuatan akan
sia-sia tiada guna.
Ikhlas adalah buah
dan intisari dari iman. Seorang tidak dianggap beragama dengan benar jika tidak
ikhlas. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam” (Al-An’am: 162).
Ikhlas mudah
diucapkan tapi sangat sulit diterapkan. Ikhlas adalah amalan hati, hanya yang
punya hati dan Sang Pencipta saja yang mengetahui tentang keikhlasan. Ia
tidak bisa dilihat, diraba, dirasakan dan juga dibuktikan.
Keikhlasan yakni ketika manusia menjadikan niatnya dalam
melakukan suatu amalan hanyalah karena Allah semata, bukan karena riya (ingin
dilihat manusia) ataupun sum’ah (ingin didengar manusia), bukan pula karena
ingin mendapatkan pujian serta kedudukan yang tinggi di antara manusia, dan
juga bukan karena tidak ingin dicela oleh manusia. Apabila manusia melakukan
suatu amalan hanya karena Allah semata bukan karena kesemua hal tersebut, maka
yang demikianlah disebut ikhlas.
Keikhlasan tidak hanya ada dalam perkara-perkara ibadah
semata seperti sholat, puasa, zakat, membaca al qur’an , haji dan amal-amal
ibadah lainnya. Namun, keikhlasan harus ada pula dalam amalan-amalan yang
berhubungan dengan muamalah. Ketika tersenyum, mengunjungi saudara, meminjamkan
barang dan lain sebagainya lakukanlah
semata-mata karena Allah SWT.
2.
Pentingnya Ikhlas
Diantaranya sebagai:
a.
Amal
perbuatan hati yang sangat penting
Ikhlas merupakan
amalan hati yang sangat penting, yaitu sebagai dasar dan syarat diterimanya
amal dan perbuatan. Tanpa ikhlas, seseorang akan tersesat dan menjadi
orang-orang yang merugi. Sebaliknya, dengan ikhlas amal perbuatan akan menjadi
agung disisi Allah sekalipun amal itu sepele dalam pandangan orang lain.
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Rasulullah SAW pernah bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidak melihat (menilai) bentuk tubuhmu dan tidak pula
menilai kebagusan wajahmu, tetapi Allah melihat (menilai) keikhlasan hatimu”. [HR. Muslim]
b.
Ikhlas
adalah syarat diterimanya amal ibadah yang dikerjakan sesuai dengan tuntunan
Rasulullah
Tanpa ikhlas, peribadatan
hanya bagaikan debu yang berterbangan. Sudah sepatutnya bagi seorang muslim
untuk memperhatikan keikhlasan dalam beramal. Janganlah melelahkan diri dengan
memperbanyak amal, namun tiada guna dan arti jika tidak ikhlas. Sebab, memperbanyak amal ketaatan tanpa ikhlas hanya akan
memperoleh kelelahan di dunia dan adzab di akhirat.
Rosululloh
bersabda: “Barang siapa yang mencari suatu ilmu yang seharusnya hanya untuk
mengharapkan wajah Alloh semata, tetapi ia mempelajarinya untuk mencari perhiasan
dunia, maka ia tidak akan mendapatkan wanginya surga pada hari Kiamat kelak”
(HR. Abu Dawud).
c.
Benteng
dari bujukan setan
Sesungguhnya setan
adalah musuh nyata bagi mausia. Setan memiliki bujukan maut guna menjerat
manusia agar menjadi penghuni neraka jahannam bersamanya. Allah telah
menjelaskan kepada manusia beberapa tindakan pencegahan dan penyembuhan agar
tidak terperangkap oleh bujukan setan. Salah satunya adalah dengan ikhlas dalam
beramal. Ikhlas buka hanya sebagai amalan hati yang mendapatkan kedudukan
tinggi dan paling utama disisi Allah, ikhlas juga sebagai benteng orang Muslim
dari bujuk rayu setan dan dari fitnah orang-orang yang sesat lagi menyesatkan.
Allah berfirman
dalam QS Shad : 82-83, yang artinya: “Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau
Aku akan menyesatkan mereka semuanya, Kecuali hamba-hamba-Mu yang
mukhlis(ikhlas) di antara mereka”.
3. Ciri-Ciri Orang Yang Ikhlas
a.
Senantiasa beramal
dan bersungguh-sungguh dalam beramal
Senantiasa beramal
dan bersungguh-sungguh dalam beramal, baik dalam keadaan sendiri atau bersama
orang banyak, baik ada pujian ataupun celaan. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata,
“Orang yang riya memiliki beberapa ciri; malas jika sendirian dan rajin jika di
hadapan banyak orang. Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan semakin
berkurang jika dicela”.
Perjalanan waktulah yang akan
menentukan seorang itu ikhlas atau tidak dalam beramal. Dengan melalui berbagai
macam ujian dan cobaan, baik yang suka maupun duka, seorang akan terlihat
kualitas keikhlasannya dalam beribadah, berdakwah, dan berjihad.
Al-Qur’an telah
menjelaskan sifat orang-orang beriman yang ikhlas dan sifat orang-orang
munafik, membuka kedok dan kebusukan orang-orang munafik dengan berbagai macam
cirinya. Di antaranya disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 44-45, “Orang-orang
yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak akan meminta izin kepadamu
untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui
orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu,
hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hati
mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya.”
b.
Terjaga dari segala
yang diharamkan allah
Terjaga dari segala
yang diharamkan Allah, baik dalam keadaan bersama manusia atau jauh dari mereka. Disebutkan dalam hadits, “Aku beritahukan bahwa ada
suatu kaum dari umatku datang di hari kiamat dengan kebaikan seperti Gunung
Tihamah yang putih, tetapi Allah menjadikannya seperti debu-debu yang
beterbangan. Mereka adalah saudara-saudara kamu, dan kulitnya sama dengan kamu,
melakukan ibadah malam seperti kamu. Tetapi mereka adalah kaum yang jika
sendiri melanggar yang diharamkan Allah.” (HR Ibnu Majah)
Tujuan yang hendak
dicapai orang yang ikhlas adalah ridha Allah, bukan ridha manusia. Sehingga,
mereka senantiasa memperbaiki diri dan terus beramal, baik dalam kondisi
sendiri atau ramai, dilihat orang atau tidak, mendapat pujian atau celaan.
Karena mereka yakin Allah Maha melihat setiap amal baik dan buruk sekecil
apapun.
c.
Merasa senang
berbuat kebaikan
Dalam dakwah, akan terlihat bahwa seorang dai yang ikhlas
akan merasa senang jika kebaikan terealisasi di tangan saudaranya sesama dai,
sebagaimana dia juga merasa senang jika terlaksana oleh tangannya.
Para dai yang ikhlas akan menyadari kelemahan dan
kekurangannya. Oleh karena itu mereka senantiasa membangun amal jama’i dalam
dakwahnya. Senantiasa menghidupkan syuro dan mengokohkan perangkat dan sistem
dakwah. Berdakwah untuk kemuliaan Islam dan umat Islam, bukan untuk meraih
popularitas dan membesarkan diri atau lembaganya semata.
d.
Tidak
mengharap terima kasih ataupun imbalan
Berbuatlah kebaikan hanya demi Allah semata, ketahuilah
bahwa tangan di atas itu lebih baik dari pada tangan yang di bawah. Walau
terkadang kebaikan dibalas dengan kejahatan namun ingatlah untuk slalu
bersyukur kepada Allah karena masih dapat berbuat baik ketika orang-orang di
sekitar berbuat jahat.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah:74, yang
artinya : “Dan, mereka tidak mencela
(Allah dan Rasul-Nya) kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka”.
B.
IKHLAS DALAM
BERIBADAH
Keikhlasan dalam
beribadah merupakan penegasan atas kemurnian atas keesaan Allah Swt, dan
penolakan terhadap segala bentuk kemusyrikan atau noda syirik sekecil apapun.
Keikhlasan dalam beribadah memiliki makna tauhid, yakni pengesaan Allah swt
dalam berbagai aspek kehidupan.
Allah Ta’ala berfirman:
“Katakanlah, “Sesungguhnya aku
diperintahkan supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama” (QS. Az-Zumar : 11).
Keikhlasan mencakup dua perkara:
1.
Lepas
Dari Syirik Ashgar (Kecil)
Syirik kecil yakni berupa riya` (ingin dilihat), sum’ah
(ingin didengar), keinginan mendapatkan balasan duniawi dari amalannya, dan
yang semisalnya dari bentuk-bentuk ketidak ikhlasan. Karena semua niat-niat di
atas menyebabkan amalan yang sedang dikerjakan sia-sia, tidak ada artinya dan
tidak akan diterima oleh Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala telah menegaskan:
“Barangsiapa yang menghendaki
(dengan ibadahnya) kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan
kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di
dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di
akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat apa yang telah mereka usahakan
di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan” (QS.
Hud : 15-16).
2.
Lepas
Dari Syirik Akbar (Besar)
Syirik besar yaitu menjadikan sebahagian dari atau seluruh
ibadah yang sedang diamalkan untuk selain Allah. Perkara kedua ini jauh lebih berbahaya,
karena tidak hanya membuat ibadah yang sedang diamalkan sia-sia dan tidak
diterima oleh Allah, bahkan membuat seluruh pahala ibadah yang telah diamalkan
akan terhapus seluruhnya tanpa terkecuali.
Allah Ta’ala telah mengancam Nabi
Muhammad Saw dan seluruh Nabi sebelum beliau dalam firman-Nya:
“Dan sesungguhnya telah
diwahyukan kepadamu dan kepada (Nabi-Nabi) yang sebelummu: “Jika kamu berbuat
kesyirikan, niscaya akan terhapuslah seluruh amalanmu dan tentulah kamu
termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Az-Zumar
: 65).
Allah juga berfirman yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah
berbuat dosa yang besar” (QS. An Nisa : 48).
C.
IKHLAS
DALAM BERAMAL
Orang yang ikhlas
dalam beramal adalah orang yang tidak peduli apabila manusia tidak memberikan
penghargaan kepadanya, karena kejujuran hatinya hanya kepada Allah. Ia pun
tidak suka bila orang lain memperhatikan amalnya sekecil apapun. Sesungguhnya
pondasi terbesar dan terpenting dalam agama Islam adalah mewujudkan keikhlasan
kepada Allah dalam melaksanakan berbagai aktivitas perbuatan kepada Allah serta
menjauhkan diri dan berhati-hati dari lawan dan musuh keikhlasan tersebut,
seperti riya, sum’ah, ujub dan lainnya.
Orang yang beramal
karena mengharap ketenaran dan kedudukan, tentu akan bermalas-malasan atau
merasa berat, jika ada pertanda harapannya akan kandas. Orang yang beramal
karena mencari muka di hadapan pemimpin atau penguasa, tentu akan menghentikan
amalnya, jika pemimpin tersebut turun dari jabatannya. Sedangkan orang yang
beramal karena Allah SWT, tidak akan memutuskan amalnya, tidak mundur, dan
tidak malas-malasan sama sekali. Sebab, alasan yang melatarbelakangi amalnya
tidak pernah sirna.
Allah berfirman:
قُلْ اِنّيْۤ
اُمِرْتُ اَنْ اَعْبُدَ اللهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدّيْنَ. وَ اُمِرْتُ ِلاَنْ
اَكُوْنَ اَوَّلَ الْمُسْلِمِيْنَ.
Katakanlah, “Sesungguhnya aku diperintahkan
supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama. Dan aku diperintahkan supaya menjadi orang yang
pertama-tama berserah diri”
[QS. Az-Zumar : 11-12].
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah yang menciptakan kematian dan
kehidupan dalam rangka menguji kalian; siapakah di antara kalian orang yang
terbaik amalnya” (QS. al-Mulk: 2).
Sebuah amal yang
tidak dilakukan dengan ikhlas karena Allah bukan hanya tidak dibalas apa-apa,
bahkan Allah akan mengazab orang tersebut, karena sesungguhnya amalan yang
dilakukan bukan karena Allah termasuk perbuatan kesyirikan yang tak terampuni
dosanya kecuali jika ia bertaubat darinya.
KESIMPULAN
Pada intinya, keikhlasan menginginkan bagaimana seorang
hamba mampu memberikan porsi ketawazunan (baca; keseimbangan) dalam amalannya
antara yang dzahir dan bathin. Karena yang diinginkan dari ikhlas adalah adanya
kesamaan dalam kedua amalan ini, baik yang dzhir (amalan yang terlihat oleh
orang lain), maupun yang bathin (yang hanya diketahui sendiri oleh dirinya).
Jika amalan dzahirnya melebihi amalan bathinnya, berarti terdapat indikasi
keriyaan. Contoh amalan yang dilakukan secara bathin adalah senantiasa hati
seseorang “basah” dengan dzikir kepada Allah, dimanapun dan kapanpun dia
berada. Demikian juga dalam kesendirian-kesendiriannya, ia justru memperbanyak
dzikir dan melakukan aktivitas ibadah, bukan malah merupakan kesempatan untuk
berlaku maksiat.
Jika seseorang telah mampu menyeimbangkan antara kedua
hal di atas, ini berarti telah terdapat indikasi keikhlasan dalam dirinya.
Apalagi jika seseorang yang memiliki amalan bathin, jauh lebih banyak dan lebih
besar frekwensinya daripada amalan dzahirnya, maka ia telah mencapai assidqu
fil ikhlas (keikhlasan yang sebenar-benarnya).
Seseorang yang telah beramal ikhlas karena Allah (amal tersebut harus
sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka
keikhlasannya tersebut akan mampu mencegah setan untuk menguasai dan
menyesatkannya. Orang yang ikhlas akan Allah jaga dari perbuatan maksiat dan
kejelekan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar