20130114

Keikhlasan


1.      Pengertian Ikhlas
Secara bahasa, ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih tidak kotor. Maka orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah saja dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain dan tidak riya dalam beramal. Sedangkan secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niat dari kotoran yang merusak.
Ikhlas merupakan sifat terpuji dalam hati yang akan menghiasi perilaku seorang Muslim. Segalanya karena Allah dan untuk-Nya semata. Ikhlas adalah perhiasan hati yang akan menyelamatkan seseorang dari kerugian akhirat, tanpa ikhlas amal perbuatan akan sia-sia tiada guna.
Ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seorang tidak dianggap beragama dengan benar jika tidak ikhlas. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam” (Al-An’am: 162).
Ikhlas mudah diucapkan tapi sangat sulit diterapkan. Ikhlas adalah amalan hati, hanya yang punya hati dan Sang Pencipta  saja yang mengetahui tentang keikhlasan. Ia tidak bisa dilihat, diraba, dirasakan dan juga dibuktikan.
Keikhlasan yakni ketika manusia menjadikan niatnya dalam melakukan suatu amalan hanyalah karena Allah semata, bukan karena riya (ingin dilihat manusia) ataupun sum’ah (ingin didengar manusia), bukan pula karena ingin mendapatkan pujian serta kedudukan yang tinggi di antara manusia, dan juga bukan karena tidak ingin dicela oleh manusia. Apabila manusia melakukan suatu amalan hanya karena Allah semata bukan karena kesemua hal tersebut, maka yang demikianlah disebut ikhlas.
Keikhlasan tidak hanya ada dalam perkara-perkara ibadah semata seperti sholat, puasa, zakat, membaca al qur’an , haji dan amal-amal ibadah lainnya. Namun, keikhlasan harus ada pula dalam amalan-amalan yang berhubungan dengan muamalah. Ketika tersenyum, mengunjungi saudara, meminjamkan barang dan lain sebagainya  lakukanlah semata-mata karena Allah SWT.
2.      Pentingnya Ikhlas
Diantaranya sebagai:
a.      Amal perbuatan hati yang sangat penting
Ikhlas merupakan amalan hati yang sangat penting, yaitu sebagai dasar dan syarat diterimanya amal dan perbuatan. Tanpa ikhlas, seseorang akan tersesat dan menjadi orang-orang yang merugi. Sebaliknya, dengan ikhlas amal perbuatan akan menjadi agung disisi Allah sekalipun amal itu sepele dalam pandangan orang lain.
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Rasulullah SAW pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat (menilai) bentuk tubuhmu dan tidak pula menilai kebagusan wajahmu, tetapi Allah melihat (menilai) keikhlasan hatimu”. [HR. Muslim]
b.      Ikhlas adalah syarat diterimanya amal ibadah yang dikerjakan sesuai dengan tuntunan Rasulullah
Tanpa ikhlas, peribadatan hanya bagaikan debu yang berterbangan. Sudah sepatutnya bagi seorang muslim untuk memperhatikan keikhlasan dalam beramal. Janganlah melelahkan diri dengan memperbanyak amal, namun tiada guna dan arti jika tidak ikhlas. Sebab, memperbanyak amal ketaatan tanpa ikhlas hanya akan memperoleh kelelahan di dunia dan adzab di akhirat.
Rosululloh bersabda: “Barang siapa yang mencari suatu ilmu yang seharusnya hanya untuk mengharapkan wajah Alloh semata, tetapi ia mempelajarinya untuk mencari perhiasan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan wanginya surga pada hari Kiamat kelak” (HR. Abu Dawud).
c.       Benteng dari bujukan setan
Sesungguhnya setan adalah musuh nyata bagi mausia. Setan memiliki bujukan maut guna menjerat manusia agar menjadi penghuni neraka jahannam bersamanya. Allah telah menjelaskan kepada manusia beberapa tindakan pencegahan dan penyembuhan agar tidak terperangkap oleh bujukan setan. Salah satunya adalah dengan ikhlas dalam beramal. Ikhlas buka hanya sebagai amalan hati yang mendapatkan kedudukan tinggi dan paling utama disisi Allah, ikhlas juga sebagai benteng orang Muslim dari bujuk rayu setan dan dari fitnah orang-orang yang sesat lagi menyesatkan.
Allah berfirman dalam QS Shad : 82-83, yang artinya: “Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau Aku akan menyesatkan mereka semuanya, Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis(ikhlas) di antara mereka”.
3.      Ciri-Ciri Orang Yang Ikhlas
a.      Senantiasa beramal dan bersungguh-sungguh dalam beramal
Senantiasa beramal dan bersungguh-sungguh dalam beramal, baik dalam keadaan sendiri atau bersama orang banyak, baik ada pujian ataupun celaan. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Orang yang riya memiliki beberapa ciri; malas jika sendirian dan rajin jika di hadapan banyak orang. Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan semakin berkurang jika dicela”.
 Perjalanan waktulah yang akan menentukan seorang itu ikhlas atau tidak dalam beramal. Dengan melalui berbagai macam ujian dan cobaan, baik yang suka maupun duka, seorang akan terlihat kualitas keikhlasannya dalam beribadah, berdakwah, dan berjihad.
Al-Qur’an telah menjelaskan sifat orang-orang beriman yang ikhlas dan sifat orang-orang munafik, membuka kedok dan kebusukan orang-orang munafik dengan berbagai macam cirinya. Di antaranya disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 44-45, “Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya.”
b.      Terjaga dari segala yang diharamkan allah
Terjaga dari segala yang diharamkan Allah, baik dalam keadaan bersama manusia atau jauh dari mereka. Disebutkan dalam hadits, “Aku beritahukan bahwa ada suatu kaum dari umatku datang di hari kiamat dengan kebaikan seperti Gunung Tihamah yang putih, tetapi Allah menjadikannya seperti debu-debu yang beterbangan. Mereka adalah saudara-saudara kamu, dan kulitnya sama dengan kamu, melakukan ibadah malam seperti kamu. Tetapi mereka adalah kaum yang jika sendiri melanggar yang diharamkan Allah.” (HR Ibnu Majah)
Tujuan yang hendak dicapai orang yang ikhlas adalah ridha Allah, bukan ridha manusia. Sehingga, mereka senantiasa memperbaiki diri dan terus beramal, baik dalam kondisi sendiri atau ramai, dilihat orang atau tidak, mendapat pujian atau celaan. Karena mereka yakin Allah Maha melihat setiap amal baik dan buruk sekecil apapun.
c.       Merasa senang berbuat kebaikan
Dalam dakwah, akan terlihat bahwa seorang dai yang ikhlas akan merasa senang jika kebaikan terealisasi di tangan saudaranya sesama dai, sebagaimana dia juga merasa senang jika terlaksana oleh tangannya.
Para dai yang ikhlas akan menyadari kelemahan dan kekurangannya. Oleh karena itu mereka senantiasa membangun amal jama’i dalam dakwahnya. Senantiasa menghidupkan syuro dan mengokohkan perangkat dan sistem dakwah. Berdakwah untuk kemuliaan Islam dan umat Islam, bukan untuk meraih popularitas dan membesarkan diri atau lembaganya semata.
d.      Tidak mengharap terima kasih ataupun imbalan
Berbuatlah kebaikan hanya demi Allah semata, ketahuilah bahwa tangan di atas itu lebih baik dari pada tangan yang di bawah. Walau terkadang kebaikan dibalas dengan kejahatan namun ingatlah untuk slalu bersyukur kepada Allah karena masih dapat berbuat baik ketika orang-orang di sekitar berbuat jahat.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah:74, yang artinya : “Dan, mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya) kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka”.
B.     IKHLAS DALAM BERIBADAH
      Keikhlasan dalam beribadah merupakan penegasan atas kemurnian atas keesaan Allah Swt, dan penolakan terhadap segala bentuk kemusyrikan atau noda syirik sekecil apapun. Keikhlasan dalam beribadah memiliki makna tauhid, yakni pengesaan Allah swt dalam berbagai aspek kehidupan.
Allah Ta’ala berfirman:
“Katakanlah, “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama” (QS. Az-Zumar : 11).
Keikhlasan mencakup dua perkara:
1.      Lepas Dari Syirik Ashgar (Kecil)
Syirik kecil yakni berupa riya` (ingin dilihat), sum’ah (ingin didengar), keinginan mendapatkan balasan duniawi dari amalannya, dan yang semisalnya dari bentuk-bentuk ketidak ikhlasan. Karena semua niat-niat di atas menyebabkan amalan yang sedang dikerjakan sia-sia, tidak ada artinya dan tidak akan diterima oleh Allah Ta’ala.
      Allah Ta’ala telah menegaskan:
“Barangsiapa yang menghendaki (dengan ibadahnya) kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan” (QS. Hud : 15-16).
2.      Lepas Dari Syirik Akbar (Besar)
Syirik besar yaitu menjadikan sebahagian dari atau seluruh ibadah yang sedang diamalkan untuk selain Allah. Perkara kedua ini jauh lebih berbahaya, karena tidak hanya membuat ibadah yang sedang diamalkan sia-sia dan tidak diterima oleh Allah, bahkan membuat seluruh pahala ibadah yang telah diamalkan akan terhapus seluruhnya tanpa terkecuali.
 Allah Ta’ala telah mengancam Nabi Muhammad Saw dan seluruh Nabi sebelum beliau dalam firman-Nya:
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (Nabi-Nabi) yang sebelummu: “Jika kamu berbuat kesyirikan, niscaya akan terhapuslah seluruh amalanmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Az-Zumar : 65).
Allah juga berfirman yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (QS. An Nisa : 48).
C.    IKHLAS DALAM BERAMAL
Orang yang ikhlas dalam beramal adalah orang yang tidak peduli apabila manusia tidak memberikan penghargaan kepadanya, karena kejujuran hatinya hanya kepada Allah. Ia pun tidak suka bila orang lain memperhatikan amalnya sekecil apapun. Sesungguhnya pondasi terbesar dan terpenting dalam agama Islam adalah mewujudkan keikhlasan kepada Allah dalam melaksanakan berbagai aktivitas perbuatan kepada Allah serta menjauhkan diri dan berhati-hati dari lawan dan musuh keikhlasan tersebut, seperti riya, sum’ah, ujub dan lainnya.
Orang yang beramal karena mengharap ketenaran dan kedudukan, tentu akan bermalas-malasan atau merasa berat, jika ada pertanda harapannya akan kandas. Orang yang beramal karena mencari muka di hadapan pemimpin atau penguasa, tentu akan menghentikan amalnya, jika pemimpin tersebut turun dari jabatannya. Sedangkan orang yang beramal karena Allah SWT, tidak akan memutuskan amalnya, tidak mundur, dan tidak malas-malasan sama sekali. Sebab, alasan yang melatarbelakangi amalnya tidak pernah sirna.
Allah berfirman:
قُلْ اِنّيْۤ اُمِرْتُ اَنْ اَعْبُدَ اللهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدّيْنَ. وَ اُمِرْتُ ِلاَنْ اَكُوْنَ اَوَّلَ الْمُسْلِمِيْنَ.
Katakanlah, “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. Dan aku diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama berserah diri” [QS. Az-Zumar : 11-12].

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian; siapakah di antara kalian orang yang terbaik amalnya” (QS. al-Mulk: 2).
Sebuah amal yang tidak dilakukan dengan ikhlas karena Allah bukan hanya tidak dibalas apa-apa, bahkan Allah akan mengazab orang tersebut, karena sesungguhnya amalan yang dilakukan bukan karena Allah termasuk perbuatan kesyirikan yang tak terampuni dosanya kecuali jika ia bertaubat darinya.


KESIMPULAN

Pada intinya, keikhlasan menginginkan bagaimana seorang hamba mampu memberikan porsi ketawazunan (baca; keseimbangan) dalam amalannya antara yang dzahir dan bathin. Karena yang diinginkan dari ikhlas adalah adanya kesamaan dalam kedua amalan ini, baik yang dzhir (amalan yang terlihat oleh orang lain), maupun yang bathin (yang hanya diketahui sendiri oleh dirinya). Jika amalan dzahirnya melebihi amalan bathinnya, berarti terdapat indikasi keriyaan. Contoh amalan yang dilakukan secara bathin adalah senantiasa hati seseorang “basah” dengan dzikir kepada Allah, dimanapun dan kapanpun dia berada. Demikian juga dalam kesendirian-kesendiriannya, ia justru memperbanyak dzikir dan melakukan aktivitas ibadah, bukan malah merupakan kesempatan untuk berlaku maksiat.
Jika seseorang telah mampu menyeimbangkan antara kedua hal di atas, ini berarti telah terdapat indikasi keikhlasan dalam dirinya. Apalagi jika seseorang yang memiliki amalan bathin, jauh lebih banyak dan lebih besar frekwensinya daripada amalan dzahirnya, maka ia telah mencapai assidqu fil ikhlas (keikhlasan yang sebenar-benarnya).
Seseorang yang telah beramal ikhlas karena Allah (amal tersebut harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka keikhlasannya tersebut akan mampu mencegah setan untuk menguasai dan menyesatkannya. Orang yang ikhlas akan Allah jaga dari perbuatan maksiat dan kejelekan.

Tidak ada komentar: